Rabu, 31 Maret 2010

PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN PUPUK MIKROBA DALAM SISTIM PERTANIAN ORGANIK1

I Nyoman P. Aryantha*, Noorsalam R. Nganro*, Sukrasno, E. Nandina* Pusat Penelitian Antar Universitas Ilmu Hayati LPPM-ITB
*) Dept. Biologi - FMIPA-ITB Jalan Ganesha 10, Bandung 40132

Abstrak
Penghematan biaya produksi budidaya tanaman dapat dicapai dengan penerapan sistim pertanain organik yakni penambahan aplikasi pupuk mikroba AgriSimba. Beberapa komoditas tanaman telah diuji coba seperti buncis, padi, kentang, bawang dan lain-lain di beberapa tempat di Indonesia telah terbukti dapat menurunkan biaya produksi, sementara hasil panenan pada umumnya dapat ditingkatkan antara 5-20%. Disamping itu, waktu panenpun dapat dipercepat rata-rata antara 7-14 hari. Kajian di rumah kaca terhadap aktivitas enzim mikroba dalam tanah terbukti berbeda secara nyata antara perlakuan dengan pupuk mikroba dengan perlakuan pupuk kimia. Aspek ini sangat penting dalam menjamin keberlangsungan tingkat kesuburan tanah dalam jangka panjang. Dari hasil- hasil kajian ini, pupuk mikroba AgriSimba dapat direkomendasikan untuk aplikasi pertanian padi dan tanaman lain.


Latar Belakang
Fenomena dampak negatif intensifikasi pertanian terhadap ekosistem pertanian termasuk pengerasan tanah, kehilangan materi organik, kontaminasi logam berat dari senyawa-senyawa sida terjadi di mana-mana (Stoate et al., 2001). Intensitas pemakaian pupuk-pupuk kimia telah terbukti meningkat dari waktu ke waktu. Dari sejak awal sistim Bimas diperkenalkan dosis pemupukan tanaman padi hanya sekitar 50-70 kg per hektar, namun dalam rentang waktu 25 tahun sudah terjadi peningkatan dosis pupuk 5-6 kali lipat. Kebutuhan pemupukan (urea, TSP, NPK dan KCL) untuk tanaman padi saat ini telah mencapai dosis total lebih dari 300 kg per hektar. Kenapa terjadi peningkatan dosis pemupukan yang begitu drastis? Apakah peningkatan dosis ini diiringi dengan peningkatan hasil panen yang berlipat pula, ternyata tidak. Lalu kenapa harus dilakukan pemupukan dengan dosis yang berlipat-lipat?

1 Aryantha, et al. 2002, Development of Sustainable Agricultural System, One Day
Discussion on The Minimization of Fertilizer Usage, Menristek-BPPT, 6th May
2002, Jakarta.

Pendekatan yang kurang komprehensif akan kesuburan tanah selama ini yakni hanya memfokuskan dari faktor kimianya saja telah terbukti menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas tanah dalam jangka panjang. Selain faktor kimia berupa unsur makro dan mikro yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, namun faktor biologis (biokimia) yang terutama dimainkan perannya oleh mikroba juga sangat penting. Berbagai senyawa organik yang dihasilkan oleh mikroba dalam proses dekomposisi berbagai limbah oraganik di alam berperan dalam memacu merangsang pertumbuhan, mempercepat proses perbungaan, meningkatkan proses biosintesis senyawa biokimia, menghambat patogen, bahkan juga meningkatkan produksi senyawa metabolit sekunder sebagai bahan baku obat, pestisida dan sebagainya.
Berbagai hormon pertumbuhan (growth hormone) seperti kelompok Auxin, Giberellin dan Sitokinin sebagian disinyalir dapat diproduksi oleh mikroba di dalam tanah yang selanjutnya dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Giberellin sendiri pada mulanya diisolasi dari fungi Giberella fujikuroi sementara berbagai jenis bakteri dalam medium pertumbuhan mampu memproduksi senyawa triptofan maupun indole yang kemungkinan dapat dimanfaatkan oleh tanaman sebagai bahan prekursor hormon Indole Acetic Acid, Indole Butyric Acid, maupun Naphthelene Acetic Acid. Kajian dengan metoda KLT juga menunjukkan beberapa spesies bakteri tanah dapat menghasilkan hormon kinetin (unpublished data).
Mikroba tanah juga berperan penting dalam proses pelarutan mineral-mineral yang tadinya berada dalam bentuk senyawa kompleks menjadi bentuk ion, maupun garam-garam yang dapat diserap oleh akar. Sebagai contoh unsur fosfor dalam senyawa kompleks batuan akan terlarutkan oleh kelompok pelarut fosfat seingga menjadi tersedia bagi tanaman (Wild, 2001).
Sumber hara yang paling utama bagi pertumbuhan vegetatif tanaman adalah nitrogen. Produksi pupuk nitrogen dunia untuk tahun 1999/2000 menurut data World Bank telah mencapai lebih dari 80,000,000 ton (World Bank Technical Paper No. 309). Sementara kita menyadari keberadaan gas N2 di udara adalah sekitar 78%. Gas Nitrogen ini oleh sekelompok mikroba non -simbiotik seperti Azotobacter, Azomonas,

Azotococcus, Beijerinckia, Derxia, Xanthobacter, Methylobacter, Methylococcus, Azospirillum, Arthrobacter, Citrobacter dapat difiksasi ke dalam tanah dan oleh mikroba nitrifikasi dan amonifikasi dapat diubah menjadi senyawa nitrogen yang tersedia bagi tanaman yakni nitrat dan garam amonium. Sementara bakteri simbiotik seperti Rhizobium, Bradyrhizobium, Azorhizobium yang berinteraksi spesifik dengan kelompok tanaman tertentu dengan membentuk nodul mampu memfiksasi nitrogen udara dan disumbangkan langsung kepada tanaman dalam simbiosa mutualistis. Kelompok lain seperti Cyanobacteria adalah kelompok pemfiksasi nitrogen yang juga bersimbiosa dengan tanaman seperti Azolla dapat hidup secara autotrof. Begitu besar potensi nitrogen di alam, walau tidak dapat diambil langsung oleh tanaman, namun banyak jenis mikroba yang dapat memfiksasinya lalu memindahkan ke tanah atau langsung mengasosiasikan dengan tanaman inang yang cocok (Madigan et al., 1997 & Richards, 1989).
Kelompok mikroba lain yang berasosiasi salling menguntungkan dengan tanaman adalah fungi mikrohiza. Asosiasi ini dapat saling menyumbangkan yakni berupa senyawa organik oleh tanaman ke fungi sementara akumulasi unsur hara seperti fosfor yang konsentrasinya rendah di tanah dapat dioptimalkan penyerapannya oleh keberadaan fungi. Potensi fungi mikorhiza sangat besar untuk tanaman kehutanan terutama untuk reklamasi atau penanaman kembali lahan-lahan kritis. Berbagai jenis fungi mikorhiza yang tergabung dalam kelompok ektomikorhiza seperti : Cortinarius, Amanita, Tricholoma, Boletus, Suillus, Russula, Lactarius, Rhizopogon, Scleroderma, Pisolithus, Telephora, maupun endomikorhiza seperti Endogone, Gigaspora, Acaulospora, Glomus, dan Schlerocystis (Rhicards, 1987).
Aspek penghambatan penyakit akar sangat penting dalam dunia hortikultura untuk memperoleh tanaman yang sehat dan subur. Berbagai jenis bakteri dan fungi telah dilaporkan mampu untuk menghambat pertumbuhan penyakit tanaman terutama penyakit akar (Aryantha & Guest, 2000 dan Aryantha et al., 2001). Pengendalian dengan penghambatan dan pencegahan dari awal dengan menambahkan agen mikroba ke dalam tanah dapat melindungi tanaman budidaya seperti sayur-sayuran dari serangan penyakit akar.
Meskipun mikroba berperan positif dalam pertumbuhan tanaman, namun faktor senyawa organik adalah sangat penting harus tersedia di dalam tanah. Peran senaywa organik disamping sebagai sumber nutrien bagi mikroba, juga dapat menciptakan kondisi fisik dan biokimia tanah yang optimal bagi pertumbuhan. Keberadaan senyawa rganik telah terbukti berkorelasi positif terhadap aktivitas enzim mikroba, terhadap daya ikat air, mencegah penguapan pada saat udara kering, meningkatkan daya tukar ion, dan memberikan pori yang cukup bagi proses biokimia dalam tanah.
Dalam upaya menyeimbangkan dan melestarikan ekosistem pertanian, menurut Prof. Higa dapat dicapai dengan menyeimbangkan mikroba heterotrof dan autotrof. Atas dasar keberadaan mikroba dalam tanah, Higa membagi ada 4 tipe tanah : (1) disease- inducing soil, (2) disease-suppressive soil, (3) zymogenic soil and (4) synthetic soil (Higa, 1988). Dengan ide dasar dari Higa, dapat dilakukan pengkondisian tanah pertanian dengan mengkombinasikan anatara mikroba penekan penyakit, mikroba lakto -aseto fermentatif dan mikroba pemfiksasi nitrogen. Masing-masing diharapkan dapat berperan sesuai sifatnya seperti penekan penyakit karena mampu menghasilkan senyawa antibiotik seperti kelompok Bacillus. Kelompok lakto-aseto fermentatif diharapkan dapat menghasilkan senyawa-senyawa organik yang merupakan prekursor sintesa senyawa lain. Demikian juga kelompok pemfiksasi nitrogen diharapkan dapat memfiksasi nitrogen udara, membawanya masuk ke dalam tanah yang selanjutnya dapat diubah menjadi senyawa nitrogen tersedia bagi tanaman. Dalam upaya ini, kemasan pupuk mikroba cair berupa kultur campur dari beberapa bakteri (Bacillus sp., Lactobacillus sp., Azotobacter sp., Acetobacter sp.) dan ragi telah dikembangkan untuk aplikasi pertanian dan perkebunan secara luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar